Penulis
Agung Marsudi
Duri Institute
Gerak News, Jakarta – STASIUN Pasar Senen dini hari, hawa mendung. Jakarta masih kedinginan, meski warganya sudah dari subuh keluar keringat, lalu lalang, membanting tulang, menggendong harapan.
Di bangku kecil, menghadap ke stasiun. Terlihat silhuet kokoh berdiri Monumen Perjuangan 1945 Tekad Merdeka. Saya terdiam, dengan isi kepala yang berputar, meski ditemani segelas energen sereal, dan tiga potong besar, uli bakar.
Uli bakar adalah makanan tradisional yang terbuat dari campuran beras ketan dan kelapa parut yang di tumbuk halus, di bentuk persegi, dan di bakar. Di bungkus dengan parutan kelapa yang di campur dengan gula putih dan gula merah, seperti serundeng.
Memiliki tekstur lembut, legit dan rasa gurih, dengan aroma yang menggoda, tak terlupa. Seperti rasa yang pernah ada.
Menjelang matahari terbangun, di antara deretan pedagang kaki lima yang mangkal di depan stasiun Senen, saya di kagetkan dengan sosok seorang anak kecil yang dari tadi tidur di lantai, beralaskan kardus. Tak terbangun meski keramaian mulai terdengar seperti lebah berdengung.
Mencoba tak terganggu keramaian, saya melanjutkan membaca antologi kedua pemikiran Sudirman Said, buku barunya berjudul, “Bergerak dengan Kewajaran”. Meski akhirnya tak tahan juga. Saya tutup buku, dan di cover belakang, tertulis, “Masihkah kata “Indonesia” di huni oleh cita-cita luhur bangsa?
Dalam hati, hanya dalam hati, saya menjawab. “Masih”. Dalam sepotong Uli Bakar Betawi ada nasionalisme yang membara, tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah di dengar oleh telinga, ia kearifan lokal yang di pertahankan dengan harapan. Harapan pembeli yang mencintai uli, dengan setulus hati. “Sepuluh ribu tiga, menyelamatkan akar budaya leluhur yang terlupa”.
Cerita Betawi tak boleh tersihir oleh drama pilkada. Cukup sudah demokrasi yang meninabobokan, gaya Amerika.
Tapi inilah paradoks Indonesia. Selama Kedubes Amerika masih di jalan merdeka, siapa bilang kita telah “merdeka”. Karenanya setiap saat, kita diingatkan pesan di Monumen “Tekad Merdeka” Pasar Senen.
“Tuhan jika aku gugur dan kau takdirkan aku hidup kembali, sekali lagi. Aku akan korbankan jiwaku untuk nusa dan bangsa!”
Senyawa, dengan sekarang, kita punya presiden yang patriotik, menerapkan manajemen berbasis nasionalisme.
Redaksi Gerak News