Gerak News, Jakarta- Dalam sidang akhir masa jabatan MPR Periode 2019-2024, MPR memutuskan menghapus nama Soeharto dalam Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Keputusan menuai kritik dari sejumlah lembaga HAM seperti Kontras, Imparsial, dan Amnesty Internasional.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya, menilai pencabutan tersebut tak berdasar dan lemah karena tidak mempertimbangkan aspek historis. Keputusan itu, menurutnya, justru berpotensi memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun kepemimpinannya yang diwarnai kejahatan HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Keputusan tersebut, lanjutnya, tidak hanya akan mengaburkan tanggung jawab, tetapi juga mengancam upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan.
“Tentu tidak serta merta dicabut karena alasan sudah meninggal. Pertanggungjawaban dengan meletakkan nama, apalagi nama pemimpin, itu merupakan salah satu upaya agar ada mekanisme kontrol terkait calon pemimpin yang akan datang, bahwa pemimpin yang akan datang tidak boleh melakukan satu pelanggaran, apalagi pelanggaran yang menyebabkan kerugian ekonomi negara,” ujar Dimas.
Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR tersebut, lanjut Dimas, juga diiringi dengan munculnya wacana untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto yang sempat beberapa kali sempat digulirkan. Hal ini, lanjutnya, tentu semakin mengafirmasi bahwa pencabutan tersebut memang disinyalir untuk memuluskan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua itu.
Momentum “diputihkannya” nama Soeharto, menurutnya, perlu dikritisi, apalagi dengan mempertimbangkan fakta bahwa presiden terpilih, Prabowo Subianto, memiliki afiliasi kuat dengan keluarga Soeharto.
Ia menegaskan, jangan sampai penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 didasari oleh konflik kepentingan yang dimiliki oleh Prabowo untuk sebisa mungkin memperbaiki citra dirinya dan andil keluarga Cendana atas kontribusi mereka terhadap sejarah kelam Orde Baru sebelum Prabowo dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober mendatang.
Hal yang sama diungkapkan Wakil Direktur Imparsial, Ardimanto. Menurutnya apa yang dilakukan MPR, bukan hanya sekedar menghilangkan nama Soeharto dari TAP MPR tersebut, tetapi juga menghapus sejarah kelam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang pernah terjadi di Indonesia yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.
“Penghapusan nama Soeharto itu mencerabut akar TAP MPR itu sendiri. TAP MPR itu sampai muncul itu adalah praktek gurita korupsi yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroni nya. Untuk itu Gerakan Reformasi 98 mengeluarkan TAP MPR tersebut untuk Indonesia bebas dari korupsi. Tuntutannya adalah mengusut tuntas korupsi yang terjadi pada masa orde baru,” ujarnya.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, menyatakan usulan penghapusan nama Soeharto tersebut karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.
“Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” katanya.
Keputusan MPR untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR 11/1998 itu merupakan tindak lanjut dari Surat dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024, dan diputuskan dalam rapat gabungan MPR pada 23 September. Pasal 4 soal pemberantasan KKN bagi pejabat negara itu secara eksplisit menuliskan nama Soeharto.
Setelah lengser, Soeharto pernah ditetapkan sebagai terdakwa kasus korupsi pengelolaan tujuh dana yayasan sosial. Ketujuh yayasan itu adalah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Perkara ini diusut Kejaksaan Agung yang menduga nilai korupsinya mencapai R 1,7 triliun.
Namun, Kejaksaan Agung kemudian menerbitkan Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) pada 2006 sesuai Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu menyebut bahwa penuntut umum bisa menghentikan penuntutan jika tidak cukup bukti, peristiwa yang disangkakan bukan pidana, dan perkara ditutup demi hukum. Selain itu, Soeharto meninggal pada 2008.
Redaksi Gerak News