Penulis
Gus NU’man Basori
Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia
Dalam pandangan umum masyarakat bahwa ada banyak hal yang mempengaruhi cara pandang mengenai Nasab seseorang dengan para leluhurnya, sehingga mengesankan bahwa seseorang yang mempunyai garis keturunan yang baik akan baik pula amaliyah ubudiyahnya dan sebaliknya.
Semua itu terkesan sudah menjadi taqdir seseorang akan selalu berada dalam kasta tertinggi pada sosial kemasyarakatannya, apakah memang seperti itu Agama memposisikan kebaikan amaliyah seseorang berdasarkan nasabnya?
Mari kita lihat bebarapa ayat2 Al qur’an maupun hadist yang menjelaskan tentang posisi Nasab dengan amaliyah seseorang
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah).
Dari hadist diatas sudah jelas bahwa Nasab seseorang bukanlah sebagai jaminan untuk bisa menjadi mulia di sisih Alloh, hanya dengan istiqomah amaliyah kebaikan maupun taqwa yang menjadikan seseorang mempunyai nilai lebih di hadapan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Alloh juga telah berfirman
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mu’minun: 101). Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 308
Pada ayat tersebut diatas pun menjelaskan bahwa pertalian saudara atau nasab tidak akan menjadikan jaminan Mutlaq untuk keselamatan manusia dihadapan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Siapa saja yang amalnya itu kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit dalam beramal.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 21).
Hanya dengan ketaqwaan kepada Alloh lah kita bisa mendapatkan tempat yang mulia disisih alloh bukan karena faktor-faktor lainnya seperti Nasab seseorang.
Banyak sekali ayat ayat Al Qur’an yang menjelaskan hal tersebut seperti dalam Firman Alloh
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Rabb mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 57-61).
Juga firman Alloh yang lainnya dalam surat Al Imron
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 133-134).
Ayat-ayat tersebut menjelaskan pentingnya melakukan Amaliyah ubudiyah yang sempurna sesempurna sempurnya kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Karena dengan amaliyah yang kita kerjakanlah yang menjadikan kita bisa mendapatkan kemuliaan disisih Alloh bukan dari yang lainnya seperti Nasab atau keturunan atau silsilah atau sejenisnya walaupun Nasab dari Nabi pun tak akan bisa menambahkan amaliyah seseorang dihadapan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Rosululloh pun sudah pernah memberikan peringatan kepada kerabatnya/ahlul bait nya melalui sabda beliau yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri ketika turun ayat, ” Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214). Lalu beliau berkata, “Wahai orang Quraisy -atau kalimat semacam itu-, selamatkanlah diri kalian sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR. Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206).
Dari keterangan hadist tersebut di atas maka Nasab yang selama ini dibangga-banggakan seseorang untuk mencari PENGHORMATAN DAN KEMULIYAAN di masyarakat amatlah kontradiksi dengan apa yang ada dalam firman Alloh dan hadist Rosululloh, apalagi disertai dengan kata-kata mengancam seperti akan masuk NERAKA bila tidak Hormat dan Ta’dzim kepada Habaib/keturunan Nabi, atau akan kuwalat kalau perintah nya seseorang yang mempunyai garis keturunan Nasab sampai ke Rosululloh walau dirinya sering berbuat Maksiat atau kesalahan kesalahan dalam menjalankan Syariah Agama.
Dalam menjalankan amalyah ubudiyah yang benar adalah kepada siapapun kita harus menaruh Rasa Hormat dan Ta’dzim dengan keluhuran budi atau dengan ketinggian ahlaq/dengan Ahlaqul karimah yang telah diajarkan oleh Rosululloh melalui Al qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas atau melalui ulama yang benar benar bisa memberikan contoh yang baik kepada kita semua, karena bagaimanapun Ulama adalah pewaris para Nabi.
Namun demikian dalam hal mencari sosok panutan kita harus lebih teliti dan jeli, minimal kriteria-kriterianya jelas, misalkan:
Sanad ke Ilmuannya jelas
Masyhur di masyarakat
Fatwa fatwa nya tidak bertentangan dengan ulama yang lainnya
Ahlaq nya bagus
Lisan dan prilakunya tidak bertentangan
Dan lain lainnya yang mengarah kan kita kepada kebaikan semata
Dari beberapa kriteria-kriteria tersebut di atas adalah sebagian kecil saja dalam menentukan seseorang yang akan menjadi panutan hidup kita, karena untuk mendapatkan kesempurnaan dihadapan Alloh sangatlah sulit. Namun minimal ada niatan yang baik dari hati kita untuk selalu istiqomah dan selalu khusnudzon kepada Alloh maka Alloh akan selalu memberikan petunjuk kepada hambahnya yang mempunyai niat yang baik dalam melakukan amaliyah Ubudiyah dalam kehidupan sehari harinya.
Semoga kita semua selalu mendapatkan hidayah dan petunjuk dari Allah SWT.