Gerak News, Jakarta-Para pemimpin Kelompok Tujuh (G7) baru-baru ini mengumumkan komitmen mereka untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan dalam dekade ini.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk mencapai net-zero emisi karbon pada tahun 2050.
Pernyataan ini muncul setelah pertemuan puncak mereka di Borgo Egnazia, Italia, pada Juni 2024.
G7 berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil secara signifikan dengan menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) secara bertahap selama paruh pertama 2030-an.
Rancangan pernyataan yang diadopsi menekankan perlunya transisi energi yang adil, terstruktur, dan merata untuk mencapai target iklim yang ambisius.
Langkah ini diharapkan dapat menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius, sejalan dengan jalur emisi nol persen yang diusung oleh negara-negara G7.
Meski begitu, komitmen ini memberikan fleksibilitas bagi negara-negara seperti Jerman dan Jepang yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.
Hal ini mencerminkan realitas ekonomi dan kebutuhan energi masing-masing negara, yang membuat proses transisi menjadi tantangan tersendiri.
Komitmen G7 ini mendapat kritik dari para aktivis lingkungan yang menilai langkah tersebut tidak cukup konkret dan ambisius.
Menurut Friederike Roder, Wakil Presiden Global Citizen, pertemuan puncak G7 kali ini kurang memberikan nilai tambah yang signifikan dalam hal kepemimpinan iklim global.
Sebagian besar janji yang diumumkan dianggap sebagai pengulangan dari pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Oscar Soria, CEO Common, juga menyatakan kekecewaannya terhadap komitmen G7 yang dianggap gagal memanfaatkan momentum untuk meninggalkan investasi di sektor minyak dan gas.
Para aktivis berharap G7 dapat mengambil langkah lebih berani menjelang Konferensi Iklim PBB COP29 pada November mendatang.
Salah satu poin kontroversial dalam rancangan pernyataan G7 adalah kemungkinan adanya investasi dalam sektor gas sebagai solusi sementara untuk mengurangi ketergantungan pada energi Rusia.
Langkah ini disambut dengan skeptisisme oleh para pemerhati lingkungan yang melihatnya sebagai bentuk ketergantungan baru pada bahan bakar fosil, meski dengan skala yang lebih kecil.
Sebagai tuan rumah, Italia mencoba mengalihkan fokus G7 ke Mediterania dan Afrika dengan meluncurkan inisiatif “Energi untuk Pertumbuhan di Afrika”.
Inisiatif ini bertujuan untuk mengalokasikan investasi dalam energi ramah lingkungan di Afrika, yang selama ini menjadi sumber bahan bakar fosil dan mineral penting bagi negara-negara maju.
Namun, kritik muncul dari lembaga kajian perubahan iklim Italia, ECCO, yang menilai kurangnya pendanaan baru mengurangi kredibilitas inisiatif tersebut.
G7 diharapkan dapat meningkatkan ambisi mereka dan memberikan dukungan yang lebih konkret untuk transisi energi global.
Tantangan terbesar adalah memastikan komitmen ini dapat diimplementasikan dengan efektif, mengingat keragaman kebutuhan dan kondisi ekonomi negara-negara anggota.
Dengan adanya tekanan dari para aktivis dan masyarakat global, G7 perlu menunjukkan kepemimpinan yang kuat dalam menghadapi krisis iklim.
Redaksi Gerak News