Gerak News, Jakarta- “Sejak kapan film yang sudah lulus sensor dipolisikan? Gak ada hukum yang dilanggar,” ujar Anggy Umbara, sutradara film Vina: Sebelum 7 Hari.
Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) melaporkan penggarap film Vina: Sebelum 7 Hari ke Bareskrim Polri, Selasa (28/5/2024). Film itu dianggap bikin gaduh.
Film Vina: Sebelum 7 Hari, dituduh melanggar Pasal 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang ujaran kebencian.
Anggy Umbara menilai laporan itu gak masuk akal. Sebab, dia merasa kegaduhan itu justru bentuk kepedulian publik kepada korban.
“Menurut saya ini bentuk kepedulian netizen pada almarhum Vina dan Eky, dan di situ terjadi perbedaan, kenapa dibilang gaduh? Mereka punya hak bersuara!” ungkap Anggy Umbara di Studio Trans 7, Tendean, Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2024).
Film rilisan Dee Company itu memercik kembali kasus kematian Vina dan Eky di Cirebon. Terlebih film Vina: Sebelum 7 Hari itu diangkat terinspirasi dari kisah nyata peristiwa tersebut.
Meski film itu diklaim kisah nyata, tapi ternyata tak semua cerita yang ditampilkan sama dengan kejadian yang memilukan itu. Hal tersebut juga sepertinya tak jadi masalah karena Lembaga Sensor Film (LSF), menyatakan film itu bisa dirilis di bioskop.
“Kalau saya lihat, film ini banyak membawa manfaat karena kasusnya keangkat lagi, keluarga jadi punya harapan, aware buat bahaya geng motor kriminalitas, ini sebuah wake up call,” terang Anggy Umbara.
LSF juga menyiratkan gak ada yang dilanggar di film Vina: Sebelum 7 Hari. Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto, mengurai terkait film-film adaptasi yang diangkat dari kisah nyata dan aturan-aturannya yang tertuang di Permendikbud.
“Penilaian atas film sebagaimana dalam Permendikbud 14 terdapat dua jenis film yang dinilai, yakni film cerita dan non cerita. Film cerita merupakan film yang isinya mengandung suatu cerita. Film Non Cerita adalah film yang berisi mengenai informasi.”
“Dua kategori film tersebut dalam penilaian LSF melepaskan diri dari apakah film itu fiksi dan non fiksi. Soal film Vina, LSF menilai film tersebut masuk kategori non fiksi, di mana si pembuatnya menjadikan film tersebut berdasarkan kejadian dalam dunia nyata. Film non-fiksi bersifat faktual dan informatif. Sutradara film melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata dan merekam gambar sesuai apa adanya,” jelas Rommy.
Selain itu, ia pun turut menjelaskan jika pembuat film memiliki hak buat berkarya melalui filmnya tersebut, namun tetap harus disertai tanggung jawab atas karyanya setelah memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor.
Pengkategorian kekerasan dalam film pun ada dalam beberapa poin yang pertama adalah adegan tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, mutilasi, pembacokan secara kasar atau sejenis. Lalu manusia atau hewan yang bagian tubuhnya berdarah-darah atau terpotong, dan ketiga adalah adegan bunuh diri secara vulgar yang diambil dari jarak dekat.
Meski begitu LSF mengaku masih memberikan kebebasan pada para sineas buat berkarya dengan sekreatif mungkin.
“LSF tidak mengatur detail kreatifitas para pembuat film. Semua diserahkan kepada para sineas masing-masing. Yang penting harus kreatif dalam merekam adegan. Misalnya, di Permendikbud 14/2019 disebutkan yang mengandung unsur pornografi apabila menampakkan unsur ketelanjangan. Nah apabila pengadeganan bagus dan kreatif, tanpa memamerkan alat vital secara vulgar, maka itu diserahkan kepada sineasnya,” pungkasnya.
Redaksi Gerak News