Gerak News, Jakarta- Perjalanan spiritual rombongan biksu Thudong untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur menyisakan polemik. Hal itu dipicu beredarnya video viral di media sosial yang memperlihatkan rombongan biksu Thudong singgah di beranda Masjid Baiturrohmah Bengkal, Temanggung.
Para biksu dipersilakan singgah oleh pengurus masjid. Dalam video yang beredar, mereka juga dijamu dengan bermacam makanan ringan dan minuman. Potongan video tersebut viral di dunia maya dan mengundang berbagai respons.
Ada yang menilai toleransi yang dilakukan pengurus masjid terlalu kebablasan sebab dilakukan di rumah ibadah. Terlebih, muncul narasi yang menyoal rombongan biksu Thudong mendoakan warga sebagai bentuk terima kasih.
Adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis yang menyatakan sikap seperti itu.
Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania, Ahmad Nurcholish, menolak sikap Ketua MUI itu. Dia memandang MUI justru pantas mendapatkan kritik sebab belum siap melihat umat Islam lebih toleran.
Dia menilai tak ada yang kebablasan dari sikap pengurus Masjid Baiturrohmah Bengkal yang mempersilakan rombongan biksu thudong istirahat di beranda masjid. Justru hal tersebut dilihat sebagai representasi Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-alamin).
“Justru merupakan bentuk toleransi nyata yang perlu dicontoh oleh masjid-masjid dan rumah-rumah ibadah lainnya di Tanah Air. Dalam Islam itu juga merupakan implementasi nyata ajaran atau misi Islam yang rahmatan lil-alamin,” kata Nurcholish, baru-baru ini.
Pernyataan MUI justru berpotensi memantik hegemoni antara mayoritas terhadap minoritas. Lebih lanjut, Nurcholish, menuturkan kritik MUI akan menimbulkan kebingungan di masyarakat dalam hal bertoleransi antarumat beragama.
Masyarakat yang tadinya menilai bahwa yang mereka lakukan sebagai upaya nyata membangun toleransi dan persaudaraan antarumat beragama, juga akan kendur karena dikritik MUI.
“Mestinya MUI memberi contoh bagi umat Islam untuk lebih sering menerapkan toleransi nyata di tengah masyarakat yang majemuk ini. Bukan malah mengkritik, ini menunjukkan bahwa masyarakat umat Islam jauh lebih dewasa dari pihak di MUI itu sendiri,” ujar Nurcholish.
Nurcholish menilai bisa jadi sebagian pengurus MUI masih berpikiran bahwa yang mesti toleran itu adalah kelompok minoritas terhadap yang mayoritas. Sikap tersebut justru dinilai sebagai hegemoni mayoritas terhadap kelompok minoritas, yang dalam ajaran dan praktiknya bahkan sangat ditentang oleh Nabi Muhammad.
“Sebagai mayoritas justru harus melindungi dan memberi contoh toleransi yang baik bagi umat agama lain,” jelas Nurcholish.
Lembaga keagamaan seperti MUI seharusnya memperkuat pemahaman umat agar dapat memiliki sikap toleran, menghormati dan menghargai umat agama lain sebagai sikap teladan. Lembaga keagamaan bukan malah memprovokasi umat lewat pernyataan atau ketetapannya.
“Banyak pernyataan dan penetapan MUI justru tidak hanya merusak iklim toleransi yang ada di masyarakat, tapi seringkali penetapan-penetapan MUI dijadikan alat untuk mempersekusi umat lain atau bahkan kelompok lain dalam Islam yang dinilai sesat,” ungkap Nurcholish.
MUI diminta untuk berbenah dan hati-hati dalam menyatakan pendapatnya. Sebab, eksistensinya pun, sebetulnya sudah diisi juga oleh berbagai organisasi masyarakat Islam yang juga memiliki akademisi dan ulama masing-masing dalam menangani persoalan umat Islam.
Selain itu, pengurus dan anggota dari lembaga-lembaga keagamaan pun bisa memberikan contoh toleransi nyata dengan mengadakan pertemuan dan pemahaman kepada masyarakat.
Nurcholish menekankan, umat beragama bisa saling berkawan dan merasa seperti saudara tanpa harus saling menegasikan satu sama lain.
“Saya jamin tidak akan tertukar atau kehilangan keimanan,” pungkasnya.
Redaksi Gerak News