Gerak News, Jakarta- Ditengah suhu Asia Tenggara yang sedang panas-panasnya, sekitar 40 biksu Thailand, Singapura, Malaysia, Korea, dan Indonesia, melakukan perjalanan ke Candi Borobudur.
Para biksu dari luar negeri sebelumnya melakukan perjalanan menggunakan kapal dari Singapura ke Batam, dilanjutkan dengan pesawat ke Jakarta, dan berjalan kaki menuju Candi Borobudur.
Kamis, 16 Mei 2024, para biksu ini telah tiba di Vihara Simar 2500 Buddha Jayanti Semarang. Perjalanan panjang ini merupakan bagian dari perayaan hari raya Waisak. Mereka telah tiba Selasa, 21 Mei 2024, dan disambut masyarakat setempat, baik umat buddha yang merayakan maupun nonbuddhis.
Perjalanan jauh yang disebut sebagai thudong oleh para biksu ini punya makna secara spiritual. Wakil Ketua Panitia Waisak Nasional 2568 BE/2024 YM Bhikkhu Dhammavuddho Thera mengatakan bahwa tradisi thudong adalah sarana untuk belajar sabar.
“Di zaman modern sekarang, tradisi thudong masih tetap dilestarikan,” kata Bhikkhu Dhammavuddho, dalam keterangan tertulis 17 April 2024.
“Akan tetapi, karena saat ini sudah berdiri vihara-vihara dan didukung oleh berbagai fasilitas, maka tradisi thudong boleh dikatakan sebagai sebuah rangkaian perjalanan dengan mempraktikkan ajaran Buddha.”sambungnya.
Tradisi thudong adalah perjalanan ritual yang harus menempuh ribuan kilometer. J. L. Taylor dalam buku Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study in Northeastern Thailand, thudong secara harafiah adalah melatih. Istilah ini berasal dari bahasa Pali “dhutanga” yang berarti “latihan keras”.
Selama perjalanan, para biksu akan berjumpa dengan segala makhluk yang ada di muka bumi, termasuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Perjalanan ini merupakan upaya meditasi dengan mendekatkan diri pada alam. Hal ini merupakan bagian dari perintah 13 praktik pertapaan biksu buddhis (dhutanga) yang dianjurkan Buddha Gautama.
Selama thudong, para biksu hanya makan sehari sekali. Dari sinilah mereka harus melatih kesabaran. Ditambah, situasi panas dan perjalanan panjang yang melelahkan harus dihadapi.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, menyambut kedatangan rombongan thudong ini. Tidak jarang organisasi masyarakat bahkan mengawal perjalanan supaya para biksu bisa tiba dengan selamat sampai tujuan. Masyarakat sipil juga memberikan makanan dan minuman sebagai bentuk dukungan dan memberi semangat.
Akan tetapi, para biksu tidak boleh sembarangan makan dan minum. Mereka hanya boleh makan buah yang tidak lebih dari sekepal tangan. Waktu makan mereka khusus pada saat matahari terbit.
Para biksu juga tidak mengonsumsi makan dan minuman banyak-banyak. Mereka tidak akan menyimpan makanan. Makanan berlebih atau tidak sesuai akan dibawa para biksu ke pihak vihara.
Memang, praktik thudong yang dilakukan para biksu ini merupakan bagian dari ajaran Buddha. Akan tetapi, tradisi ini telah mengalami perubahan dalam sejarah, seiring dengan perubahan kondisi saat ini.
Dalam sejarahnya, thudong diyakini sudah ada sejak abad keenam hingga keempat SM di India. Ritual thudong dilakukan oleh Sang Buddha yang bertapa dan mengembara. Para pengikut Sang Buddha, termasuk para biksu dan biksuni mengembangkan praktik pengembaraan ini untuk mencapai titik terdalam meditasi.
Praktik ini dikenal dalam sebuah kitab abad kelima yang disebut Visuddhimagga (Jalur Penyucian). Kitab ini disusun oleh filsuf Buddhaghosa dan memuat praktik ajaran Theravada. Buddhaghosa menyebutkan bahwa jika ingin mencapai pencerahan dan nirwana (kebebasan), harus melalui pertapaan. Praktik pertapaan ini salah satu di antaranya adalah thudong atau mengembara.
Visuddhimagga menganjurkan untuk meninggalkan tempat keramaian di mana para biksu bisa mengisolasi diri dari godaan duniawi dan gangguan. Mereka yang menginginkan nirwana harus memfokuskan diri di tempat sepi dan damai dengan bermeditasi, sehingga dapat mengembangkan spiritualitasnya.
Dengan demikian, perbedaan antara thudong dulu dan kini terletak dari tempat tujuannya. Hari ini, thudong bisa dilakukan dengan menziarahi tempat-tempat suci dan bermeditasi, termasuk ke Candi Borobudur dalam perayaan Waisak.
“Di zaman modern sekarang, tradisi tetap dilestarikan, tetapi vihara sudah ada, jadi digeser menjadi satu rangkaian perjalanan, misalnya dalam rangka Waisak,” kata Bhikkhu Dhammavuddho.
Redaksi Gerak News