Gerak News, Jakarta- Film Vina: Sebelum 7 Hari sukses menarik perhatian masyarakat. Sebab film bergenre drama horor yang disutradarai Anggi Umbara ini mampu mengusut kasus pembunuhan yang telah lama terlupakan, kembali mencuat.
Film Vina: Sebelum 7 Hari sendiri diangkat dari kisah nyata tentang pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky alias Eky pada 2016 silam. Vina dan Eky tewas setelah dibunuh oleh sekelompok geng motor di Cirebon, Jawa Barat.
Dosen TV dan Film Fikom Universitas Padjajaran (Unpad) Fajar Syuderajat mengungkapkan, film adalah media untuk menyampaikan pesan kepada audiens atau khalayak yang mana jika pesan itu bersinggungan dengan ranah publik, akan lahir dan melekat tanggungjawab sosial dari komunikasi massa.
“Dalam konteks komunikasi massa, film tidak hanya dilihat sebagai sarana hiburan tetapi juga sebagai media yang memiliki tanggung jawab sosial. Ketika film menyampaikan pesan kepada khalayak luas, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, seperti dampak sosial, etika, dan tanggung jawab moral dari pembuat film,” kata Fajar, Selasa (21/5/2024).
Terkait dengan film Vina: Sebelum 7 Hari, Fajar mengungkapkan muncul pro kontra usai film tersebut tayang di bioskop. Menurutnya, pihak yang pro menyebut jika film itu dapat membuat kasus yang sudah lama terkubur kembali bangkit untuk menegakkan keadilan.
Sementara pihak yang kontra lebih menitikberatkan pada aspek moralitas serta etika dari pengisahan film yang kurang memenuhi aspek tersebut dalam pilihan genre film fiksi horor serta penuh dengan gimmick marketing.
“Saya sebagai akademisi sekaligus praktisi di bidang film berpendapat dari tiga sisi tripartit, yaitu Filmmaker, penonton atau khalayak dan regulator,” ujarnya.
Fajar menuturkan alangkah lebih bijak jika cerita tentang kasus pembunuhan Vina diangkat dalam film dokumenter. Meskipun menurutnya, nilai komersial dari film dokumenter tidak akan sebesar film bergenre horor.
“Filmmaker alangkah lebih bijak jika ingin detail menceritakan sebuah kasus maka pilihan yang tepat adalah film dokumenter walaupun tentu nilai komersialnya tidak semenjanjikan pilihan genre film fiksi horor yang ditayangkan di bioskop,” jelasnya.
Menurutnya, sebagai seorang filmmaker, menghadapi kasus kontroversial seperti film Vina: Sebelum 7 Hari membutuhkan pendekatan yang hati-hati dan bertanggung jawab.
“Pendekatan yang seimbang antara kebebasan berekspresi dan perlindungan masyarakat merupakan kunci dalam menghadapi film-film kontroversial,” ujarnya.
“Dalam konteks ini, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor dan melakukan tindakan yang sesuai dengan kepentingan publik dan prinsip-prinsip demokrasi,” tutup Fajar.
Redaksi Gerak News