Gerak News, Jakarta- Di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), terdapat kepercayaan Marapu. Selain menjadi pulau yang unik sebagai penghasil kuda sandel, orang Sumba sejak dahulu telah menganut kepercayaan lokal Marapu dengan basis pemujaan terhadap leluhur.
Meski sudah terdapat agama resmi, hingga saat ini mayoritas orang Sumba masih menganut kepercayaan lokal tersebut.
Lantas, apa yang dimaksud Marapu?
Jika ditilik dari segi etimologis, Maparu memiliki makna yang beragam. Menurut L.Ovlee (dalam Solihin, 2018), kata Marapu berarti sesuatu yang dihormati. Sedangkan, A.A. Yewangoe (dalam Solihin, 2018) berpendapat bahwa Marapu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan rappu (tersembunyi) sehingga bermakna yang tersembunyi.
Selain itu, Yewangoe memperkirakan bahwa Marapu berasal dari mera (serupa) dan apu (nenek moyang), yakni sesuatu yang memiliki bentuk seperti nenek moyang.
Sedangkan menurut istilah sehari-hari, masyarakat Sumba memang biasa menyebut nenek moyang mereka dengan sebutan Marapu. Hal ini merupakan manifestasi dari penghormatan terhadap leluhur mereka.
Dalam kepercayaannya sebagai menghormati arwah para leluhur, orang Sumba membuat simbol berupa benda-benda. Seperti tombak, perhiasan emas, gong, gading, manik-manik, dan benda khusus lainnya.
Benda-benda itu dikeramatkan dan tidak sembarang orang dapat menyentuhnya karena benda tersebut dimanifestasikan sebagai leluhur (Marapu).
Benda keramat ini kemudian disimpan di dalam kotak atau peti dan diletakkan di atas loteng rumah. Menurut Kapita (1976) orang Sumba mempercayai dengan aktivitas yang mereka lakukan ini Marupu akan hadir memberikan pertolongan.
Dilansir dari laman resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat, Marapu merupakan suatu sistem kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan tertinggi yang disebut Mawolu-Marawi.
Mawolu-Marawi secara harfiah memiliki arti yang membuat dan yang menciptakan. Hal ini merupakan yang abstrak dan tak diketahui wujudnya, namun kehadirannya diyakini.
Bagi orang Sumba, Mawolu-Marawi menjadi sumber kehidupan yang memberikan mereka keselamatan dan ketentraman bagi umat manusia. Jika ketidakselarasan terjadi Mawolu-Marawi dapat menjadi suatu malapetaka.
Sakralnya dan kedudukan Mawolu-Marawi sangatlah jauh, hal ini membuat tak ada tokoh atau seorang pun dapat berkomunikasi dengannya secara langsung. Harapan atau permohonan manusia tetap dapat tersampaikan namun melalui perantara, yakni melalui roh para leluhur yang diyakini telah melanjutkan kehidupan baru di tempat yang dekat dengan Mawolu-Marawi. Koneksi ini dilakukan dengan cara menjalankan ritual-ritual peribadatan.
Dalam tulisan Djawa (2014) yang berjudul ‘Ritual Marapu di Masyarakat Sumba Timur’ menyebutkan bahwa untuk berkomunikasi dengan Marapu dengan bantuan leluhur untuk di beberapa kondisi sebagai berikut:
· Upacara Pengorbanan
Dalam masyarakat Sumba, upacara pengorbanan memiliki dua maksud, yakni untuk menjalin hubungan tetap terjaga dan harmonis dengan para leluhur dan sebagai memperbaiki hubungan yang telah rusak karena telah melanggar adat.
Dalam upacara ini, masyarakat Sumba biasanya menyiapkan hewan-hewan untuk dikurbankan, seperti ayam, babi, kerbau, dan kuda. Selain itu juga orang Sumba juga menyuguhkan hasil panen mereka dalam upacara ini.
· Upacara Kematian
Aktivitas sakral ini dilakukan karena peristiwa kematian bagi masyarakat Sumba dianggap sebagai permulaan kehidupan baru di alam bakal (prai marapu). Orang yang sudah meninggal harus dihormati dan diupacarakan dengan berbagai rangkaian agar arwahnya dapat sampai ke prai marapu.
Redaksi Gerak News