Gerak News, Jakarta- Kampung Kristen tertua di tengah Kota Santri Cianjur berada di Kampung Palalangon, Kecamatan Ciranjang, dan masih berada di wilayah Gunung Halu.
Keberadaan kampung Kristiani ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dulu.
Pastinya perkampungan Kristiani ini cukup menarik untuk ditelisik mengingat Cianjur dikenal sebagai Kota Santri. Artinya, kultur masyarakat Cianjur dominan bernuansa Islami.
Berdasarkan data salah satu sumber menyebutkan, predikat Kota Santri karena Cianjur memiliki 353 unit pondok pesantren (ponpes) pada 2022 dengan luas wilayah hanya 26,15 kilometer persegi.
Kampung Kampung Palalangon yang berada di wilayah Gunung Halu dan mulai ditempati masyarakat Kristen pribumi pada masa Bupati Cianjur era Raden Prawiradiredja (1862-1910).
Dalam Pendeta Alex Fernando Banua berjudul Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Gereja Kristen Pasundan Palalangon menjelaskan, Palalangon adalah perwujudan dari model pembentukan jemaat pedesaan di tanah Jawa Barat.
Pembentukan jemaat ini atas prakarsa lembaga pekabaran Injil Zending dari Belanda yang bernama Nederlandsche Zendings Vereeninging (NZV).
NZV kemudian memulai pelayanannya di wilayah Cianjur berawal dari sebuah keprihatinan terhadap kondisi dan keberadaan komunitas orang Kristen pribumi (orang sunda) yang tersebar di wilayah Batavia (sekarang Jakarta), Depok, Jatinegara, Kampung Sawah, Gunung Putri, Cikembar, dan Cigelam.
Komunitas Kristen Sunda ini mengalami diaspora akibat intimidasi, penganiayaan, bahkan pembunuhan. NZV lalu mengutus B.M. Alkena untuk mencari lahan yang cocok untuk pemukiman sekaligus untuk pertanian.
Upaya pencarian lokasi dimulai di wilayah Karesidenan Cianjur. Bantuan diperoleh dari seorang pembantu bupati Cianjur, atau Wedana yang bernama Sabri disertai oleh tujuh orang yang telah dihimpunkan kembali yaitu: Miad Aliambar, Jena Aliambar, Hasan Aliambar, Akim Muhiam, Naan Muhian, Yusuf Sairin dan Elipas Kaiin.
Ketujuh orang ini kemudian disebut generasi perintis berdirinya kampung Palalangon. Upaya pencarian pemukiman cukup lama dengan menyusuri aliran sungai Cisokan dan sungai Citarum.
Dalam pencarian tersebut, rombongan sempat terperosok ke sebuah tebing di pinggir aliran sungai Citarum (tepatnya di daerah Leuwi Kuya).
Mereka kemudian menaiki tebing tersebut dan menemukan sebuah hutan belantara yang tanahnya agak datar.
Setelah B.M. Alkena melihat tempat tersebut cocok untuk lahan pemukiman dan pertanian, maka B.M Alkena menancapkan tongkatnya di tanah dan berikrar: ‘di tempat inilah saya tetapkan sebagai tempat pemukiman bagi orang-orang Kristen (Sunda)’.
Sejak itulah dimulai pembukaan dan pembabatan hutan untuk keperluan pemukiman dan pertanian.
Warga Kristiani pribumi masih menggunakan sistem penamaan marga. Markhasan, Dantji, dan Masad. Ketiga nama tersebut menjadi ciri seorang Kristiani pribumi yang tinggal di Kampung Palalangon.
Saat ini, kawasan tersebut juga telah banyak dihuni oleh masyarakat yang beragama Islam. Meski berbeda keyakinan, mereka hidup berdampingan secara damai dan terus menjalankan prinsip saling toleransi dan tetap mengasihi.
Bahkan saat ada salah satu warga yang jatuh sakit atau meninggal, mereka akan saling menolong dengan memberikan bantuan untuk meringankan beban.
Itulah fakta menarik Kampung Kristen tertua di tengah Kota Santri Cianjur. Ada toleransi cukup tinggi di antara warga, meski berbeda agama.
Redaksi Gerak News