Gerak News, Jakarta- Kabar persekusi terhadap umat agama minoritas kembali terjadi. Viral pembubaran ibadah tersebut terjadi di salah satu rumah jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Benowo.
Pembubaran terjadi pada Rabu (8/5/2024) malam WIB kisaran pukul 19.00 waktu setempat. Video pembubaran gereja yang tepatnya berlokasi di Perumahan Cerme Indah Blok P/36 RT 11 RW 03 Desa Betiting, Kec. Cerme, Gresik, Jawa Timur itu diunggah akun instagram @muliahalim777.
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) angkat bicara dan mengutuk keras tindakan tersebut.
“Mengutuk keras berulangnya aksi penyerangan, penganiayaan dan berbagai bentuk persekusi atas nama agama terhadap kelompok minoritas yang beribadah,” tulis SEJUK dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.
Berdasarkan keterangan @muliahalim 77, pembubaran rumah ibadah jemaat GPIB Benowo disebut kesepakatan RT dan RW setempat.
SEJUK menyebutkan, diskriminasi terhadap hak-hak beragama dan menjalankan agama sesuai keyakinan kelompok minoritas agama atau keyakinan dan kepercayaan kerap kali dilakukan lewat kesepakatan sepihak di bawah tekanan mayoritas yang difasilitasi oleh aparat atau pejabat pemerintahan di daerah, baik di tingkat kabupaten atau kota, kecamatan, desa atau kelurahan, maupun tingkat RT dan RW.
SEJUK menuntut agar aparat kepolisian bertindak tegas. Tindakan seperti menangkap dan mengadili para pelaku persekusi dan tindak pidana lainnya dianggap jadi tindakan yang perlu dilakukan. Selain itu, pemerintah pusat pun dinilai perlu turun tangan.
“Mendesak aparat negara dan pemerintah baik daerah maupun pusat untuk serius menghentikan praktik diskriminasi dan persekusi terhadap minoritas agama yang beribadah dan mendirikan tempat ibadah,” tulis SEJUK.
Praktik persekusi terhadap minoritas baru-baru ini juga sempat terjadi. Belum hilang dari ingatan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang dialami mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang menggelar doa rosario di Tangerang Selatan pada Minggu (5/5/2024) malam lalu.
SEJUK menilai, persekusi yang dialami mahasiswa Unpam Tangerang Selatan yang beragama Katolik dan jemaat GPIB Benowo Gresik menambah deretan praktik persekusi atas nama agama yang terjadi dalam tiga bulan terakhir setelah Pemilihan Presiden Februari 2024 lalu.
Dua pekan jelang Paskah 2024 lalu, viral video seorang perempuan di Balaraja, Tangerang, menyatakan bahwa rumahnya tidak akan digunakan lagi untuk beribadah, yang diduga karena adanya tekanan beberapa pihak.
Pada masa pertengahan Ramadan dan menjelang Paskah, 10 orang penuh arogan mendatangi Pos Pembinaan Umat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Semboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur untuk mencopot paksa plang Pos Pembinaan Umat GKII dan melarang aktivitas peribadatan di tempat tersebut.
Tak hanya itu, beberapa peristiwa lain seperti persekusi terhadap beberapa jemaat muda, anak-anak, dan perempuan di rumah doa POUK Tesalonika, Teluk Naga, Tangerang dalam persiapan perayaan paskah hingga video salah satu jemaat di Karang Indah, Pandeglang, memberi pernyataan bahwa rumahnya yang digunakan untuk beribadah bukan gereja menambah catatan buruk untuk Indonesia.
SEJUK mengingatkan, kekerasan, pembubaran, ancaman, pembatasan, dan berbagai gangguan atau halangan lainnya yang dialami kelompok minoritas agama atau keyakinan dan kepercayaan untuk beribadah dan mendapat izin mendirikan rumah ibadah disebabkan oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
PBM 2006 dinilai SEJUK bersifat restriktif, sangat membatasi, dan kerap menjadi dasar bagi kelompok mayoritas yang dominan dan intoleran untuk melarang minoritas yang berbeda agama atau keyakinan dan kepercayaan menjalankan ibadah di rumah atau tempat ibadah yang tidak mendapat dukungan warga (mayoritas).
SEJUK menegaskan, PBM 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah adalah sumber konflik keagamaan yang berulang dan meluas.
“Karena menjadi alat legitimasi bagi kelompok mayoritas menentang dan menghentikan penggunaan rumah atau tempat ibadah kelompok lainnya yang rentan dan termarginalkan secara paksa, baik dengan ancaman maupun kekerasan,” tulis SEJUK.
SEJUK menilai, PBM 2006 jelas melanggar hak dan kebebasan warga untuk menjalankan ibadah sesuai agama atau keyakinan dan kepercayaan yang sejatinya dijamin konstitusi (UUD 1945 Pasal 28E ayat 2, 28I ayat 1, dan 29 ayat 2).
Persekusi dan tindakan brutal penyerangan serta upaya membubarkan dan menghalang-halangi orang beribadah disebut SEJUk sebagai tindakan kriminal yang melanggar hukum.
“Perdamaian tanpa efek jera terhadap para pelaku dan proses yang adil untuk memulihkan dan memberikan jaminan hak-hak korban untuk beribadah dengan nyaman dan aman hanya akan membiarkan praktik persekusi atas nama agama berulang dan meluas ke banyak tempat,” sebut SEJUK.
Redaksi Gerak News