Subsidi Migas Harus Diperhatikan Pemerintahan Baru
Gerak News, Jakarta- Pemerintah diminta segera mengukur kemampuan fiskal menghadapi risiko akibat dinamika ekonomi yang tengah terjadi, terutama berkaitan dengan meningkatnya tensi geopolitik saat ini.
Menurut Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky, salah satu faktor penting yang perlu menjadi perhatian pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya serta bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran adalah tentang subsidi dan impor migas (minyak dan gas).
”Tentu saja sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperhatikan beban subsidi energi. Saya pernah mengingatkan bahwa ada tiga indikator yang akan muncul dari situasi global saat ini,” ungkap Yanuar, Selasa (30/4/2024).
Yanuar mengatakan, ada tiga indikator yang perlu menjadi perhatian, pertama adalah harga pangan, khususnya beras yang berpotensi naik dan saat ini mulai terjadi. Kedua adalah harga energi, dan ketiga adalah nilai tukar (kurs).
”Karena ada rencana Jepang untuk keluar dari suku bunga negatif. Dia ingin mereverse kebijakan yang sudah hampir dua dekade. Tiga faktor itu akan sangat berpengaruh terhadap kondisi di depan kurva saat ini di 2024,” lanjut dia.
Berkaitan dengan energi, Yanuar menjelaskan bahwa potensi kenaikan harga tidak hanya bersumber dari geopolitik akan tetapi juga dari perpolitikan di AS. ”Setiap AS mau pemilihan umum,biasanya harga minyak itu naik. Karena donatur terbesar politik di Amerika itu adalah oil and gas,” ungkapnya.
Dia bilang, kenaikan harga energi akan memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia sehingga perlu diantisipasi dengan baik. Penyebabnya, pada satu sisi, Indonesia masih melakukan impor minyak dalam jumlah banyak baik minyak mentah maupun BBM.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengumumkan impor minyak Indonesia masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, produksi nasional hanya sebanyak 600.000 barrel per hari sedangkan impornya mencapai 840.000 barrel per hari dengan rincian sebanyak 600.000 barrel dalam bentuk BBM dan 240.000 barrel adalah minyak mentah.
Selain faktor volume impor yang besar di tengah risiko kenaikan harga, pada saat yang sama, pemerintah masih harus memikirkan biaya subsidi khususnya subsidi BBM kepada masyarakat. ”Dengan segala situasi yang terjadi, pemerintahan baru nanti perlu menilai, sanggup atau tidak untuk terus memberikan belanja fiskalnya di tengah dunia yang lagi kayak begini,” jelas dia.
“Kalau kemarin bisa memberikan berbagai subsidi, saat ini geopolitiknya semakin meruncing, semakin ke arah penyempitan-penyempitan ruang fiskal yang tertutup,” lanjut Yanuar.
Redaksi Gerak News
.